Minggu, 21 Agustus 2011

Keynote & Highlights BHD



beberapa keynote dan highlights dari rekomendasi terbaru panduan bantuan hidup dasar:

1. Pemeriksaan fungsi sirkulasi berupa perabaan denyut nadi selama 10 detik hanya direkomendasikan bagi tenaga medis. Rekomendasi tersebut dipertimbangkan atas dasar:
a. Perabaan denyut nadi selama 10 detik sering kali tidak mencerminkan fungsi sirkulasi korban.
b. Penekanan CPR terutama pada kompresi dada ditujukan pada penolong orang awam, sehingga diharapkan pemeriksaan fungsi sirkulasi tidak menunda pelaksanan kompresi dada.
c. Pemeriksaan sirkulasi dengan perabaan nadi bagi penolong awam terlalu memakan banyak waktu sehingga terjadi penundaan CPR
d. Penolong awam kerap menemui kesulitan dalam mendeteksi apakah fungsi sirkulasi pasien berfungsi atau tidak

2. Meminimalisir keterlambatan kompresi dada adalah prinsip utama.

3. “Look, feel, listen” untuk evaluasi fungsi pernapasan tidak lagi direkomendasikan.
a. Penolong, baik awam ataupun tenaga kesehatan terlatih, sebaiknya segera memulai CPR jika menemukan korban dewasa yang tidak sadar dan tidak bernapas atau tidak bernapas dengan normal (gasping). Hal ini dikarenakan pelaksanaan evaluasi fungsi pernapasan terlalu memakan banyak waktu (10 detik).

4. Perubahan konsep ABC (airway – breathing – Chest Compressions) menjadi CAB (Chest Compression – Airway – Breathing) bagi korban dewasa.
a. Perubahan mendasar ini terutama hanya diperuntukkan bagi penolong awam terlatih.
b. Penyebab henti jantung tersering adalah VF dan pulseless VT yang terapi utamanya adalah kompresi dada dan defibrilasi. Jika pada keadaan demikian penolong menunda dilakukannya kompresi dada, kemungkinan terjadinya Return of Spontaneous Circulation (ROSC) sangat kecil.
c. Pada kenyataannya algoritma ABC sering menimbukan penundaan untuk melakukan kompresi dada.
d. Algoritma ABC dimulai dengan prosedur yang sulit bagi orang awam yaitu membuka jalan napas dan memastikan napas masuk.

5. 3 prototipe CPR yang diperuntukkan bagi penolong dengan latar belakang berbeda. Hl ini didasarkan pada berbagai pertimbangan yang telah dijelaskan sebelumnya.
a. Hands-only CPR yang diperuntukkan bagi penolong awam.
b. Conventional CPR yang diperuntukkan bagi penolong awam terlatih dan tenaga medis.
c. CPR + defibrilasi yang diperuntukkan bagi tenaga medis terlatih.


Sumber ::
Hazinski MF, Field JM. 2010 American heart association guidelines for cardiopulmonary rescucitation and emergency cardiovascular care science. AHA: 2010. www.circ.ahajournals.org

Rabu, 08 Juni 2011

Medikolegal Penanganan Pasien Gawat Darurat

Masalah Medikolegal pada Penanganan Pasien Gawat Darurat. Hal-hal yang disoroti hukum dalam pelayanan gawat darurat dapat meliputi hubungan hukum dalam pelayanan gawat darurat dan pembiayaan pelayanan gawat darurat Karena secara yuridis keadaan gawat darurat cenderung menimbulkan privilege tertentu bagi tenaga kesehatan maka perlu ditegaskan pengertian gawat darurat.

Menurut The American Hospital Association (AHA) pengertian gawat darurat adalah: An emergency is any condition that in the opinion of the patient, his family, or whoever assumes the responsibility of bringing the patient to the hospital-requires immediate medical attention. This condition ccontinues until a determination has been made by a health care professional that the patient’s life or well-being is not threatened. Adakalanya pasien untuk menempatkan dirinya dalam keadaan gawat darurat walaupun sebenarnya tidak demikian. Sehubungan dengan hal itu perlu dibedakan antara false emergency dengan true emergency yang pengertiannya adalah: A true emergency is any condition clinically determined to require immediate medical care. Such conditions range from those requiring extensive immediate care and admission to the hospital to those that are diagnostic problems and may or may not require admission after work-upand observation.”

Untuk menilai dan menentukan tingkat urgensi masalah kesehatan yang dihadapi pasien diselenggarakanlah triage. Tenaga yang menangani hal tersebut yang paling ideal adalah dokter, namun jika tenaga terbatas, di beberapa tempat dikerjakan oleh perawat melalui standing order yang disusun rumah sakit. Selain itu perlu pula dibedakan antara penanganan kasus gawat darurat fase pra-rumah sakit dengan fase di rumah sakit. Pihak yang terkait pada kedua fase tersebut dapat berbeda, di mana pada fase pra-rumah sakit selain tenaga kesehatan akan terlibat pula orang awam, sedangkan pada fase rumah sakit umumnya yang terlibat adalah tenaga kesehatan, khususnya tenaga medis dan perawat. Kewenangan dan tanggungjawab tenaga kesehatan dan orang awam tersebut telah dibicarakan di atas. Kecepatan dan ketepatan tindakan pada fase pra-rumah sakit sangat menentukan survivabilitas pasien.

Hubungan Hukum dalam Pelayanan Gawat Darurat

Di USA dikenal penerapan doktrin Good Samaritan dalam peraturan perundang-undangan pada hampir seluruh negara bagian. Doktrin tersebut terutama diberlakukan dalam fase pra-rumah sakit untuk melindungi pihak yang secara sukarela beritikad baik menolong seseorang dalam keadaan gawat darurat. Dengan demikian seorang pasien dilarang menggugat dokter atau tenaga kesehatan lain untuk kecederaan yang dialaminya. Dua syarat utama doktrin Good Samaritan yang harus dipenuhi adalah:

1. Kesukarelaan pihak penolong.
Kesukarelaan dibuktikan dengan tidak ada harapan atau keinginan pihak penolong untuk memperoleh kompensasi dalam bentuk apapun. Bila pihak penolong menarik biaya pada akhir pertolongannya, maka doktrin tersebut tidak berlaku

2. Itikad baik pihak penolong.
Itikad baik tersebut dapat dinilai dari tindakan yang dilakukan penolong. Hal yang bertentangan dengan itikad baik misalnya melakukan trakeostomi yang tidak perlu untuk menambah keterampilan penolong. Dalam hal pertanggungjawaban hukum, bila pihak pasien menggugat tenaga kesehatan karena diduga terdapat kekeliruan dalam penegakan diagnosis atau pemberian terapi maka pihak pasien harus membuktikan bahwa hanya kekeliruan itulah yang menjadi penyebab  kerugiannya/cacat (proximate cause). Bila tuduhan kelalaian tersebut dilakukan dalam situasi gawat darurat maka perlu dipertimbangkan faktor kondisi dan situasi saat peristiwa tersebut terjadi. Jadi, tepat atau tidaknya tindakan tenaga kesehatan perlu dibandingkan dengan tenaga kesehatan yang berkualifikasi sama, pada pada situasi dan kondisi yang sama pula. Setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari pasien (informed consent). Hal itu telah diatur sebagai hak pasien dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan pasal 53 ayat 2 dan Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis. Dalam keadaan gawat darurat di mana harus segera dilakukan tindakan medis pada pasien yang tidak sadar dan tidak didampingi pasien, tidak perlu persetujuan dari siapapun (pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989). Dalam hal persetujuan tersebut dapat diperoleh dalam bentuk tertulis, maka lembar persetujuan tersebut harus disimpan dalam berkas rekam medis dengan tidak ada harapan atau keinginan pihak penolong untuk memperoleh kompensasi dalam bentuk apapun. Bila pihak penolong menarik biaya pada akhir pertolongannya, maka doktrin tersebut tidak berlaku.



Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa “Persetujuan tindakan medik kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.

Pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik, pengaturan mengenai informed consent pada kegawatdaruratan lebih tegas dan lugas. Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 pasal 4 ayat (1) dijelaskan bahwa “Dalam keadaan darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran”.

Disahkannya Permenkes No. 290/MENKES/PER/III/2008 sekaligus mengggugurkan Permenkes sebelumnya yaitu pada Permenkes No 585/Men.Kes/Per/IX/1989 masih terdapat beberapa kelemahan. Pada pasal 11 hanya disebutkan bahwa yang mendapat pengecualian hanya pada pasien pingsan atau tidak sadar. Beberapa pakar mengkritisi bagaimana jika pasien tersebut sadar namun dalam keadaan darurat. Guwandi (2008) mencontoh pada kasus pasien yang mengalami kecelakaan lalu-lintas dan terdapat perdarahan serta membahayakan jiwa di tubuhnya tetapi masih dalam keadaan sadar. Contoh lain apabila seseorang digigit ular berbisa dan racun yang sudah masuk harus segera dikeluarkan atau segera dinetralisir dengan anti-venom ular.

 Jika ditinjau dari hukum kedokteran yang dikaitkan dengan doktrin informed consent, maka yang dimaksudkan dengan kegawatdaruratan adalah suatu keadaan dimana :
a. Tidak ada kesempatan lagi untuk memintakan informed consent, baik dari pasien atau anggota keluarga terdekat (next of kin)
b. Tidak ada waktu lagi untuk menunda-nunda
c. Suatu tindakan harus segera diambil
d. Untuk menyelamatkan jiwa pasien atau anggota tubuh.

Seperti yang telah dijelaskan pada Permenkes No 209/Menkes/Per/III/2008 pada pasal 4 ayat (1) bahwa tidak diperlukan informed consent pada keadaan gawat darurat. Namun pada ayat (3) lebih di tekankan bahwa dokter wajib memberikan penjelasan setelah pasien sadar atau pada keluarga terdekat. Berikut pasal 4 ayat (3) “ Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat”. Hal ini berarti, apabila sudah dilakukan tindakan untuk penyelamatan pada keadaan gawat darurat, maka dokter berkewajiban sesudahnya untuk memberikan penjelasan kepada pasien atau kelurga terdekat.

Selain ketentuan yang telah diatur pada UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 209/Menkes/Per/III/2008, apabila pasien dalam keadaan gawat darurat sehingga dokter tidak mungkin mengajukan informed consent, maka KUH Perdata Pasal 1354 juga mengatur tentang pengurusan kepentingan orang lain. Tindakan ini dinamakan zaakwaarneming atau perwalian sukarela yaitu “Apabila seseorang secara sukarela tanpa disuruh setelah mengurusi urusan orang lain, baik dengan atau tanpa sepengetahuan orang itu, maka secara diam-diam telah mengikatkan dirinya untuk meneruskan mengurusi urusan itu sehingga orang tersebut sudah mampu mengurusinya sendiri”. Dalam keadaan yang demikian perikatan yang timbul tidak berdasarkan suatu persetujuan pasien, tetapi berdasarkan suatu perbuatan menurut hukum yaitu dokter berkewajiban untuk mengurus kepentingan pasien dengan sebaik-baiknya. Maka dokter berkewajiban memberikan informasi mengenai tindakan medis yang telah dilakukannya dan mengenai segala kemungkinan yang timbul dari tindakan itu.

KESIMPULAN
Tindakan dalam kegawatdaruratan medik di perbolehkan tanpa melakukan persetujuan atau informed consent terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran dan diperjelas oleh KUH Perdata pasal 1354
.




Daftar Rujukan
1. Purbacaraka P, Soekanto S. Perihal kaedah hukum. Bandung: Alumni; 1979.
2. Soekanto S, Herkutanto. Pengantar hukum kesehatan. Jakarta: CV Remadja Karya; 1987.
3. Mancini MR, Gale AT. Emergency care and the law. Maryland: Aspen Publication; 1981.
4. Pusponegoro AD. Perbedaan pengelolaan kasus gawat darurat prarumah sakit dan di rumah sakit. Bandung: PKGDI; 1992.
5. Holder AR. Emergency room liability. JAMA 1972;220:5.
6. Undang-undang No 23/1992 tentang Kesehatan
7. Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis
8. Peraturan Menteri Kesehatan No.749a/1989 tentang Rekam Medis
9. Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit
10. Undang-undang No. 29/ tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
11. Astuti, E.K. 2009. Transaksi Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis Di Rumah Sakit. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
12. Chazawi, A. 2007. Malpraktik Kedokteran. Malang: Bayumedia.
13. Guwandi, J. 2008. Informed consent. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
14. Komalawati, V. 1989. Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
15. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
16. Pramana, B.T. 2007. Tinjauan Yuridis Terhadap Informed consent Sebagai Dasar Dokter Dalam Melakukan Penanganan Medis Yang Berakibat Malpraktek. Skripsi : Universitas Islam Indonesia.
17. Subekti dan Tjitrosudibio. 2008. KUH Perdata. Jakarta: PT. Pradya Paramita.
18. Supriadi, W. C. 2001. Hukum Kedokteran. Bandung : Mandar Maju.
20. Syahrani, R. 2006. Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: PT. Alumni.


Kewenangan Personil Pelayanan Gawat Darurat

Masalah Lingkup Kewenangan Personil dalam Pelayanan Gawat Darurat. Hal yang perlu dikemukakan adalah pengertian tenaga kesehatan yang berkaitan dengan lingkup kewenangan dalam penanganan keadaan gawat darurat. Pengertian tenaga kesehatan diatur dalam pasal 1 butir 3 UU No.23/1992 tentang Kesehatan sebagai berikut:

 “tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan”.

Melihat ketentuan tersebut nampak bahwa profesi kesehatan memerlukan kompetensi tertentu dan kewenangan khusus karena tindakan yang dilakukan mengandung risiko yang tidak kecil. Pengaturan tindakan medis secara umum dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan dapat dilihat dalam pasal 32 ayat (4) yang menyatakan bahwa

“pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh ten kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu”.

Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari tindakan seseorang yang tidak mempunyai keahlian dan kewenangan untuk melakukan pengobatan/perawatan, sehingga akibat yang dapat merugikan atau membahayakan terhadap kesehatan pasien dapat dihindari, khususnya tindakan medis yang mengandung risiko. Pengaturan kewenangan tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan medik diatur dalam pasal 50 UU No.23/1992 tentang Kesehatan yang merumuskan bahwa

“tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan”.

Pengaturan di atas menyangkut pelayanan gawat darurat pada fase di rumah sakit, di mana pada dasarnya setiap dokter memiliki kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan medik termasuk tindakan spesifik dalam keadaan gawat darurat. Dalam hal pertolongan tersebut dilakukan oleh tenaga kesehatan maka yang bersangkutan harus menerapkan standar profesi sesuai dengan situasi (gawat darurat) saat itu. Pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit umumnya tindakan pertolongan pertama dilakukan oleh masyarakat awam baik yang tidak terlatih maupun yang terlatih di bidang medis. Dalam hal itu ketentuan perihal kewenangan untuk melakukan tindakan medis dalam undang-undang kesehatan seperti di atas tidak akan diterapkan, karena masyarakat melakukan hal itu dengan sukarela dan dengan itikad yang baik. Selain itu mereka tidak dapat disebut sebagai tenaga kesehatan karena pekerjaan utamanya bukan di bidang kesehatan. Jika tindakan fase pra-rumah sakit dilaksanakan oleh tenaga terampil yang telah mendapat pendidikan khusus di bidang kedokteran gawat darurat dan yang memang tugasnya di bidang ini (misalnya petugas Ambulans), maka tanggungjawab hukumnya tidak berbeda dengan tenaga kesehatan di rumah sakit. Penentuan ada tidaknya kelalaian dilakukan dengan membandingkan keterampilan tindakannya dengan tenaga yang serupa.

Rabu, 20 April 2011

Mask & friends


Medium O2 Mask, Elongated

Hand Held Nebulizer

Nebulizer With Mark

Nasal Kanul


Soft Style Nasal Canul


Endotracheal Tube


CPR Pocket Mask


Laringeal Mask Airway
O2 Mask
Mercury Mask


Venturi Mask




Cardinal Health Full Face Mask Large Disposable




Quick-donning oxygen mask


Fisher & Paykel Healthcare, Irvine, Calif, offers the Forma


BVM, MERCURY ADULT


Nasal Pillows Mask

Senin, 11 April 2011

Automated external defibrillator

Defibrilator external otomatis atau Automated external defibrilator (AED) adalah sebuah alat elektronik portabel yang secara otomatis dapat melakukan diagnosis aritmia jantung dan takikardi ventrikel pada pasien. Penerapan terapi listrik yang memungkinkan jantung untuk membangun kembali sebuah irama yang efektif. AED pertama awalnya dirancang dan diciptakan oleh ahli Biomedis Amerika : Joshua L Koelker dan seorang profesional kegawatdaruratan Italia : Jordan M Blondino, yang memungkinkan melakukan defibrilasi ditempat umum. AED dirancang mudah digunakan untuk orang awam, dan penggunaannya diajarkan pada Pertolongan Pertama, Responder dan BHD 

Langkah 1: Setelah menelepon ambulans, ambil AED dan tempatkan di samping korban.


Langkah 2:  Buka pakaian pasien. Penting  dada pasien terlihat.




Langkah 3Buka tutup pelindung (elektroda)




.Langkah 4 




Langkah 5: Secara otomatis AED akan menganalisa irama jantung korban dan menentukan apakah shock diperlukan. Jika kejutan diperlukan, tekan tombol shock. Jangan sentuh pasien sampai ada diinstruksikan aman




.Langkah 6: Jika perlu, mulailah CPR. Tekan tombol biru berkedip untuk instruksi langkah langkah CPR. ikuti instruksi AED sampai tenaga profesional tiba.

Kamis, 07 April 2011

seputar ambulans

Di Indonesia, banyak penderita cedera, keracunan, serangan jantung atau kegawat-daruratan yang lain yang meninggal di rumah atau dalam perjalanan ke rumah sakit karena penatalaksanaan yang tidak memadai. Padahal angka kematian di rumah atau dalam perjalanan ke rumah sakit dapat dikurangi jika ada pelayanan gawat darurat yang dapat segera menghampiri penderita, dan dalam perjalanan penderita kemudian didampingi oleh paramedik dan ambulans yang memadai. Oleh karena itu masyarakat perlu mengerti fungsi ambulans dan mudah mendapatkan ambulans. 
Harus segera dimaklumi, bahwa pada hakekatnya pelayanan gawat darurat yang seharusnya pergi ke penderita, dan bukan penderita yang dibawa ke pelayanan gawat darurat. Ini mengandung konsekuensi, bahwa ambulans yang datang ke penderita, dan kemudian membawanya ke rumah sakit, haruslah merupakan suatu “Unit Gawat Darurat berjalan”, sebaiknya dengan perlengkapan gawat darurat yang lengkap, dan petugas medik yang ber-keterampilan dalam penanganan gawat darurat. 
Transportasi penderita gawat darurat dari tempat kejadian ke rumah sakit sampai sekarang masih dilakukan dengan bermacam-macam kendaraan, hanya sebagian kecil saja dilakukan dengan ambulan. Dan ambulannya bukan ambulan yang memenuhi syarat tetapi ambulan biasa. Bila ada bencana dengan sendirinya para korban akan diangkut dengan segala macam kendaraan tanpa koordinasi yang baik.

Syarat penderita
Seorang penderita gawat darurat dapat ditransportasikan bila penderita tersebut siap (memenuhi syarat) untuk ditransportasikan, yaitu:
Gangguan pernafasan dan kardiovaskuler telah ditanggulangi – resusitasi : bila diperlukan, perdarahan dihentikan, luka ditutup, patah tulang di fiksasi dan selama transportasi (perjalanan) harus di monitor :
a. Kesadaran
b. Pernafasan
c. Tekanan darah dan denyut nadi
d. Daerah perlukaan

Prinsip transportasi Pre Hospital
Untuk mengangkat penderita gawat darurat dengan cepat & aman ke RS / sarana kesehatan yang memadai, tercepat & terdekat.
a. Panduan mengangkat penderita
• Kenali kemampuan diri dan kemampuan team work
• Nilai beban yang diangkat,jika tidak mampu jangan dipaksa
• Selalu komunikasi, depan komando
• Ke-dua kaki berjarak sebahu, satu kaki sedikit kedepan
• Berjongkok, jangan membungkuk saat mengangkat
• Tangan yang memegang menghadap ke depan (jarak +30 cm)
• Tubuh sedekat mungkin ke beban (+ 50 cm)
• Jangan memutar tubuh saat mengangkat
• Panduan tersebut juga berlaku saat menarik/mendorong

b. Pemindahan emergency :
• Tarikan baju
• Tarikan selimut
• Tarikan lengan
• Ekstrikasi cepat (perhatikan kemungkinan terdapat fraktur servical)

Panduan memindahkan penderita (secara emergency, non emergency)
a. Contoh pemindahan emergency adalah :
• Ada api, bahaya api atau ledakan
• Ketidakmampuan menjaga penderita terhadap bahaya lain
• Usaha mencapai penderita lain yang lebih urgen
• Rjp penderita tidak mungkin dilakukan di tkp tersebut
Catatan : “ apapun cara pemindahan penderita selalu ingat kemnungkinan patah tulang leher (servical) jika penderita trauma “
b. Pemindahan non emergency :
• Pengangkatan dan pemindahan secara langsung
• Pengangkatan dan pemindahan memakai sperei
(tidak boleh dilakukan jika terdapat dugaan fraktur servical)
c. Mengangkat dan mengangkut korban dengan satu atau dua penolong :
• Penderita sadar dengan cara :
human crutch ” – satu / dua penolong, yaitu dengan cara dipapah dengan dirangkul dari samping
• Penderita sadar tidak mampu berjalan
Untuk satu penolong dengan cara :
piggy back “ yaitu di gendong, dan “ cradel “ yaitu di bopong, serta “ drag “ yaitu diseret
Untuk dua penolong dengan cara :
two hended seat “ yaitu ditandu dengan kedua lengan penolong, atau “ fore and aft carry “ yaitu berjongkok di belakang penderita.
• Penderita tidak sadar
Untuk satu penolong dengan cara:
“ cradel “ atau “ drag “
Untuk dua penolong dengan cara :
“ fore and aft carry “
5. Syarat alat transportasi
Syarat alat transportasi yang dimaksud disini adalah :
a. Jenis ambulans 
• AGD Transportasi
Transportasi penderita
• AGD 
Mampu menanggulangi gangguan A (airway), B (breathing), C (circulation) dalam batas-batas Bantuan Hidup Dasar. Juga dilengkapi dengan alat-alat ekstrikasi, fiksasi, stabilisasi dan transportasi
Dilengkapi dengan semua alat/obat untuk semua jenis kegawat-daruratan medik 
• AGD Sepeda Motor 
Tentu saja motor ini bukan alat evakuasi, namun lebih bersifat “membawa UGD ke penderita”. Peralatannya seperti AGD

b. AGD harus mampu:
• Idealnya sampai di tempat pasien dalam waktu 6-8 menit agar dapat mencegah kematian karena sumbatan jalan nafas, henti nafas, henti jantung atau perdarahan masif (“to save life and limb”)
• Berkomunikasi dengan pusat komunikasi, rumah sakit dan ambulans lainnya
• Melakukan pertolongan pada persalinan
• Melakukan transportasi pasien dari tempat kejadian ke RS atau dari RS ke Rs
• Menjadi rumah sakit lapangan dalam penanggulangan bencana.
c. Alat-alat medis
Alat – alat medis yang diperlukan adalah : resusitasi : manual, otomatik, laringgoskop, pipa endo / nasotracheal, o2, alat hisap, obat-obat, infus, untuk resusitasi-stabilisasi : balut, bidai, tandu (vakum matras), ecg transmitter ”, incubator, untuk bayi, alat-alat untuk persalinan
Alat-alat medis ini dapat disederhanakan sesuai dengan kondisi local. Tiap ambulan dapat berfungsi untuk penderita gawat darurat sehari-hari maupun sebagai RS lapangan dalam keadaan bencana, karena diperlengkapi dengan tenda sehingga dapat menampung 8 – 10 penderita , alat hisap : – 1 manual- 1 otomatik – dengan o2- 1 dengan mesin, botol infus sehingga kalau ada 10 ambulan, 200 penderita dapat segera dipasang infus. Dan 2 x 10 – 20 tenaga perawat “ ccn “
d. Personal
Ketenagaan pada ambulans sebaiknya sudah terlatih ambulance crew.
e. Lingkaran tugas paramedik
Pada dasarnya tugas di ambulans adalah lingkaran tugas yang terdiri atas persiapan – respons - kontrol TKP - akses - penilaian awal keadaan penderita dan resusitasi – ekstrikasi – evakuasi – transportasi ke rumah sakit yang sesuai, lalu kembali ke persiapan.
• Persiapan
Fase persiapan dimulai saat mulai bertugas atau kembali ke markas setelah menolong penderita
• Respons
Pengemudi harus dapat mengemudi dalam berbagai cuaca. Cara mengemudi harus dengan cara defensif (defensive driving). Rotator selalu dinyalakan, sirene hanya dalam keadaan terpaksa. Mengemudi tanpa mengikuti protokol, akan mengakibatkan cedera lebih lanjut, baik pada diri sendiri, lingkungan maupun penderita.
• Kontrol TKP
Diperlukan pengetahuan mengenai daerah bahaya, harus diketahui cara parkir, serta kontrol lingkungan.
• Akses ke penderita 
Masuk ke dalam rumah atau ke dalam mobil yang hancur, tetap harus memakai prosedur yang baku.
• Penilaian keadaan penderita dan pertolongan darurat
Hal ini sedapatnya dilakukan sebelum melakukan ekstrikasi ataupun evakuasi.
• Ekstrikasi 
Mengeluarkan penderita dari jepitan memerlukan keahlian tersendiri. Penderita mungkin berada di jalan raya, dalam mobil, dalam sumur, dalam air ataupun dalam medan sulit lainnya. Setiap jenis ekstrikasi memerlukan pengetahuan tersendiri, agar tidak menimbulkan cedera lebih lanjut.
• Evakuasi dan transportasi penderita
6. Cara transportasi 
Sebagian besar penderita gawat darurat di bawa ke rumah sakit dengan menggunakan kendaraan darat yaitu ambulan. Tujuan dari transportasi ini adalah memindahkan penderita dengan cepat tetapi aman, sehingga tidak menimbulkan perlukaan tambahan ataupun syock pada penderita. Jadi semua kendaraan yang membawa penderita gawat darurat harus berjalan perlahan-lahan dan mentaati semua peraturan lalu lintas.
• Bagi petugas ambulan berlaku :
Waktu berangkat mengambil penderita, ambulan jalan paling cepat 60 km/jam. Lampu merah (rorator) dinyalakan, “ sirine “ kalau perlu di bunyikan Waktu kembali kecepatan maksimum 40 km/jam, lampu merah (rorator) dinyalakan dan “ sirine “ tidak boleh dibunyikan Semua peraturan lalu lintas tidak boleh dilanggar